Friday, October 3, 2008

“AWAS VIRUS PORNOGRAFI MENGANCAM JIWA & KELUARGA ANDA!”


Selamat Datang di Cosmosexpolitan[1]
Ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Stephen Arterburn dan Jim Burns yang mengikuti sebuah konferensi kaum muda di Atlanta di sebuah musim panas,
“Kami terheran-heran karena ada sejumlah pemuda yang berbicara dengan kami tentang permasalahan mereka dengan pornografi. Beberapa pria telah terpikat oleh Wildcat Lounge, sebuah bar yang letaknya di seberang hotel. Seorang pria mengungkapkan bahwa ia melihat tempat tersebut ketika memasuki hotel tetapi bertekad untuk menjauhinya. Namun di tengah malam ia terdorong untuk pergi ke sana dan menonton penari-penari telanjang. Majalah dan video tidak memuaskannya lagi, ia ingin melihat orang, bukan gambar. Ia mengerti, sungguh tidak masuk akal bahwa ia datang ke Atlanta untuk dibina menjadi pelayan Tuhan yang baik, tetapi ia tidak sanggup menjauhkan diri dari klub penari telanjang. Ironisnya, ia sangat terkejut ketika melihat sejumlah pendeta muda lain juga ada disana. Kisahnya seperti kisah lain yang pernah kita dengar, diawali dengan tertarik kepada pornografi pada usia dini.”[2]

Realita di atas mungkin tidak lagi jauh dari tempat dimana kita hidup hari ini. Atau bahkan tidak jauh dari realita kehidupan kita secara pribadi yaitu bergulat dengan pornografi, seks dan problematikanya. Jikalau kita melintasi jalan-jalan protokol di sepanjang kota-kota besar baik di Jakarta, Surabaya, Bali, Batam, maupun kota-kota besar di Las Vegas, New York, Sidney maupun Pattaya, Bangkok dan di seluruh dunia khususnya pada malam hari, kita akan melihat banyak kerlap-kerlip lampu di depan sudut-sudut Night Club, House of Clubbing, Adult Shop, Striptease Club dan tempat-tempat prostistusi lainnya yang semuanya bernuansa eksotik, sexy dan sensual. Semuanya menebarkan pesona seks, seks dan seks. Itu kalau dilihat secara jelas, namun bagaimana pesona seks yang tidak terlalu kelihatan (sembunyi-sembunyi) namun nyata bagaikan sebuah “virus yang mematikan” yaitu dengan pornografi sebagai sarana utama penyebarannya?

Mari kita coba perhatikan saluran TV lokal maupun internasional, di semua saluran itu, kita dapat melihat pesona dan nuansa seks yang semakin nyata dan vulgar. Film-film yang diputar di hampir semua saluran TV seperti Sex in the City, maupun gedung bioskop seperti Basic Instint dll, mengemas hal-hal yang berbau seks. Dan slogan-slogan seperti “Free Sex, Safe Sex dan One Night Stand” yang sangat mengagungkan seksualitas yang tidak sehat kini menjadi tidak asing di telinga kita. Belum lagi dengan media internet (world wide web), kita bisa mengakses ribuan bahkan jutaan gambar-gambar porno (daily updated) yang tersebar bebas memenuhi “atmosfir” muka bumi ini dengan seks, seks dan seks. Juga melalui media chatting channel, kini telah terjadi perselingkuhan atau hubungan seks maya (cybersex) di mana setiap orang dapat melakukannya dengan mudah, tinggal masuk saluran yang dipilih dan menjumpai seseorang dari balik komputer di seberang sana untuk mulai menjalin “seks dunia maya.”

Ya, selamat datang di Cosmosexpolitan. Dunia yang dipenuhi dengan “atmosfir seks” dan “virus” terbesar yang dipakai sebagai penyebarannya adalah pornografi melalui media audio visual: musik, majalah, koran, iklan-iklan, film-film porno yang beredar bebas di kaki lima, maupun kecanggihan dunia teknologi informasi internet yang semuanya menjadi sarana penyebar seks mutakhir yang meng-global, sangat luas dan mudah diakses. Archibald D. Hart menggambarkan bahwa,
“Lebih parah lagi, budaya kita begitu mengagung-agungkan seks. Media telah mendistorsikan makna seks yang indah, dengan cara mendefinisikan mana seks yang baik atau tidak baik. Film-film, TV, dan majalah terus saja mendistorsikan seks. Saya malah berpendapat bahwa budaya Barat dapat disebut sebagai “budaya obsesi seks yang gila.” Orang-orang Barat telah mengubah pria-pria sehat menjadi orang-orang yang mudah terangsang untuk bermasturbasi, pecandu khayalan seks. Jika kita tinggal diam dan tidak mau mengubah hal ini, maka saya khawatir akan abad mendatang.”[3]

Lalu apakah dampak negatif dari seksualitas yang diumbar atau dipertontonkan secara jelas dan gamblang hari-hari ini? Apakah ada perubahan tingkah laku seks dalam keluarga, masyarakat, atau kehidupan anak-anak muda kita hari ini? Apakah ada kaitan antara “virus pornografi” dan perselingkuhan-perselingkuhan yang terjadi, hingga mengakibatkan perceraian dalam keluarga-keluarga kita (termasuk keluarga Kristen) atau bahkan tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan pembunuhan? Sejauh mana “virus pornografi mengancam dan mematikan kehidupan jiwa dan keluarga kita?”

Menelanjangi Dunia Pornografi
Secara umum mungkin kita berkata bahwa pornografi adalah hiburan yang wajar bagi pria-pria dewasa yang normal. Atau di sisi lain pornografi adalah suatu seni untuk mengagumi keindahan seorang wanita. Dengan kata lain pornografi tidak berbahaya, “it’s just for fun!” begitu pendapat bagi sebagian orang. Pandangan-pandangan ini mungkin merupakan salah satu akibat dari keberhasilan para Raksasa Industri Pornografi seperti Playboy, Hustler, Penthouse dll, maupun Industri Musik dan Televisi yang telah menanamkan filosofi “Sex is for Pleasure, Leisure and Money” yang merupakan penerjemahan lain dari filosofi klasik dunia “mari kita bersenang-senang karena besok kita akan mati.”

Inilah filosofi Hedonisme yang dikawinkan dengan Materialisme bahwa seks adalah suatu komoditi yang bisa menghasilkan uang jutaan dollar, dan seks adalah suatu industri hiburan, seks adalah untuk kesenangan.[4] Dan siapakah pangsa pasar yang dituju? Siapakah target market mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah kita semua pria-pria dewasa, muda, remaja dan bahkan wanita-wanita yang haus akan cinta kasih yang sejati. Dan itu berarti setiap kita adalah rentan terhadapnya, termasuk keluarga-keluarga Kristen sekalipun.
Pernahkah kita berpikir sejauh mana kerusakan moral, dan jiwa dari setiap orang yang pada akhirnya mengkonsumsi produk-produk pornografi tersebut dan bahkan mengalami kecanduan yang obsesif/kompulsif?

Adalah seorang Ted Bundy, pembunuh yang bertanggungjawab atas tewasnya sedikitnya 28 wanita dan anak-anak. Ia merupakan ilustrasi dramatis bagaimana seseorang dapat menjadi korban pornografi. Dalam kasusnya, pornografi telah begitu menguasai kepribadiannya sehingga merenggut kebebasannya bahkan nyawanya. Tidak banyak orang tahu bahwa selang beberapa jam sebelum dihukum mati, Ted Bundy berbicara dengan James Dobson seorang Psikolog dan Pemerhati Masalah Keluarga Kristen di Amerika Serikat (Focus on the Family). Ia bukan hanya mengaku bersalah dan bertanggungjawab atas pembunuhan-pembunuhan itu, tetapi ia juga membukakan diri secara luar biasa bagaimana pornografi telah berperan dalam kehidupannya.

Ia menjelaskan demikian,
“Pada dasarnya, saya adalah orang yang normal. Saya bukanlah orang yang bisa dikomentari dengan kalimat “itu dia, orang yang bejat moralnya.” Saya memiliki beberapa teman baik. Saya memiliki kehidupan yang normal kecuali ada satu bagian kecil tetapi kuat dan destruktif yang tetap saya rahasiakan dan tidak saya biarkan diketahui seorangpun. Saya tidak tahu mengapa saya begitu rentan terhadapnya. Yang saya tahu hanyalah, pornografi memberi dampak terhadap saya dan menjadi sentral dari perkembangan perilaku kejam yang saya lakukan. Saya menonton pornografi seperti kecanduan. Kita merindukan sesuatu yang sifatnya makin keras dan makin keras yang memberikan rasa kegembiraan luar biasa sampai kita mencapai titik dimana pornografi hanya bisa memberi kepuasan sejauh itu. Kita sampai pada titik dimana kita mulai bertanya-tanya apakah dengan melakukan hal itu akan lebih memberikan sesuatu daripada sekedar membaca atau melihatnya. Pornografi dapat menjangkau dan menarik setiap anak keluar dari keluarganya dewasa ini.

Jenis-jenis pornografi yang paling merusak yang sedang saya bicarakan berdasarkan pengalaman nyata dan pribadi adalah pornografi yang melibatkan tindakan kekerasan dan kekerasan secara seksual. Gabungan kedua kekuatan itu, seperti yang benar-benar saya ketahui menimbulkan perilaku yang begitu mengerikan untuk dibicarakan. Ada orang-orang yang berkeliaran di kota dan di lingkungan tempat tinggal kita, orang-orang seperti saya, yang memiliki dorongan berbahaya dan sedang dibakar siang dan malam oleh tindakan kekerasan di media dalam berbagai bentuk, khususnya kekerasan secara seksual.

Pada sisi lain, ada kekuatan yang berkeliaran di negara ini, khususnya yang melawan jenis pornografi kekerasan, orang baik-baik serta sopan yang mencela perilaku Ted Bundy sementara mereka berjalan melewati rak majalah yang penuh dengan berbagai jenis bacaan yang akan menjadikan anak-anak muda itu seorang Ted Bundy. Ini merupakan ironi. Sudah lama saya tinggal di penjara. Saya berjumpa dengan banyak pria yang termotivasi untuk melakukan kekerasan seperti saya. Tanpa diragukan lagi dan mereka masing-masing tanpa kecuali terlibat dalam pornografi. Mereka sangat kecanduan pornografi tak perlu dipertanyakan lagi.”[5]

Contoh di atas mungkin terkesan ekstrim. Namun banyak di antara kita yang terkejut ketika melihat realita ada beberapa orang yang kita kenal sangat baik, penuh iman, berasal dari latar belakang keluarga yang harmonis (bahkan tidak terlepas para pendeta dan aktivis gereja), namun jauh di lubuk hatinya mengalami suatu pergumulan yang dahsyat untuk keluar dari perangkap pornografi. Bukankah ini tidak berbeda dengan pengalaman seorang Ted Bundy?
Lalu apakah “virus pornografi” itu sebenarnya? Mengapa dapat menjangkiti banyak orang dari berbagai kalangan? Kata pornografi sendiri berasal dari kata Yunani pornographos yang artinya mengacu kepada “penggambaran secara lengkap” tentang perdagangan pelacur.

Kamus Webster mendefinisikan pornografi sebagai “penggambaran perilaku erotis (seperti dalam gambar-gambar atau tulisan-tulisan) dengan tujuan menghasilkan kenikmatan seksual.”[6] Namun bagi saya, pornografi tidak hanya sebatas gambar atau tulisan, namun juga segala bentuk pengungkapan seksualitas yang melebihi dari apa yang sewajarnya (nilai-nilai seksualitas yang sehat) demi mencapai sebuah kenikmatan seksual. Pornografi adalah suatu usaha memalsukan realitas seksualitas yang indah, sehat dan real yang diciptakan Allah bagi manusia, menjadi sebuah komoditas atau industri yang membawa manusia kepada rasa malu, keterikatan, dan kecanduan terhadap seks yang semu (unreal).

Pornografi bergerak dalam wilayah imajinasi/fantasi manusia.[7] Jikalau pornografi bergerak dalam wilayah imajinasi manusia, maka dapat dibayangkan bahwa itu tidak akan ada batasnya, karena manusia memiliki kapasitas otak yang luar biasa besar. Itulah sebabnya pornografi akan sangat sulit untuk dihentikan karena manusia akan senantiasa mencari “sesuatu yang baru” dan untuk itulah pornografi menjadi sebuah mata rantai kecanduan seksual.

Sebagai contoh lebih lanjut mari kita simak sebuah lagu yang kira-kira dapat kita bayangkan sejauh mana kira-kira dampaknya bagi pikiran kita apabila lagu-lagu dengan lirik berbau seks seperti ini terus-menerus kita dengarkan,

“Yeah, call me the gangster of love. I like bitches,
All kinda bitches
To take off my shirt and pull down my britches
If she’s got big t_ _ _ _ _ s (lang for breasts) I’ll squeeze’em
While she sucks my b_ _ _s (slang for the male genitals)
And licks my scrotum
If she’s got a friend, I’ll f_ _ k her too
Together we can play a game of swithcheroo”[8]

Untuk lebih jelasnya mungkin kita bisa melihat penjelasan lebih jauh,
“Michael Billings yang berumur 17 tahun mengaku bersalah, Bobby Titsworth yang berumur 16 tahun mengaku bersalah. Stephane Wartson, 17 tahun dan Robert Wartson, 20 tahun juga mengaku bersalah. Apakah kejahatan mereka? Mereka menculik dan bersama-sama memperkosa dua gadis dari sekolah tinggi musik Muskogee. The Tulsa Tribune melaporkan bahwa, ketika menunggu bis sekolah, salah satu dari gadis-gadis itu ditarik ke dalam sebuah mobil, pemudi yang lainnya diculik pada pagi hari yang sama ketika dia berdiri di depan sekolahnya. Keduanya dibawa ke dalam satu rumah, disana mereka berkali-kali diperkosa dan dipukuli dengan sebuah ikat pinggang. (Gadis-gadis itu sekolah di tingkat sembilan dan sepuluh/SMA 1 dan SMA 2).

Yang membuat kasus ini sangat mengganggu perasaan masyarakat adalah fakta bahwa anak laki-laki itu memutar lagu rap yang berjudul “Gangster of Love” oleh Getto Boys beberapa kali selama penyiksaan itu berlangsung. Jaksa Wilayah Drew Edmondson yang menangani kasus tersebut percaya bahwa musik ini mungkin merupakan api pemicu berkobarnya serangan seksual tersebut. Dia menjelaskan kepada Tribune bahwa lagu tersebut “mempertunjukkan sikap terhadap wanita yang pada dasarnya kurang manusiawi.”[9]

Dengan demikian pornografi menjadikan gambar, nilai diri, dan moralitas seorang manusia semakin rendah, dan bahkan menjadikan manusia tidak ubahnya seperti binatang yang “ditelanjangi” atau “di-ekspose” demi menghasilkan uang maupun kesenangan atau kepuasan seksual. Pornografi juga menjadikan manusia sebagai “thing” atau “sesuatu” yang layak dieksploitasi bukan sebagai “a human” atau “seorang” pribadi yang layak dihargai. Dengan melihat beberapa contoh di atas, saya yakin bahwa pemahaman kita tentang pornografi akan berubah. Begitulah kira-kira kedahsyatan “virus” yang bernama pornografi, virus yang bisa merasuk siapa saja yang pada akhirnya akan membawa kepada keterikatan bahkan kehancuran pribadi-pribadi maupun keluarga-keluarga.

Pornografi adalah Virus yang Mematikan Jiwa, Spiritualitas dan Keluarga
Bagaikan sebuah virus baik itu HIV, hepatitis B atau C dlsb, pola dan kinerja pornografi tidak jauh berbeda. Pelan namun pasti, virus itu pada mulanya tidak akan menimbulkan rasa sakit baginya namun semakin hari akan semakin menjerat. Pertama kali pornografi masuk ke dalam jiwa (mental) seseorang dalam rupa gambar erotis baik di majalah, film maupun internet, gambar-gambar itu akan tersimpan rapi di dalam memori otak kita, dan terus menumpuk kian hari kian terakumulasi hingga pada akhirnya dapat memuncak menjadi sebuah tingkah laku yang obsesif/kompulsif dan mengarah kepada kecanduan seksual.

Dan siklus selanjutnya adalah mengarah kepada masturbasi dan akan terus meningkat lebih dan lebih lagi tergantung kemana fantasi dari virus pornografi itu berkembang di dalam kepribadian kita. Lingkaran kecanduan atau siklus yang terakumulasi semenjak kecil dimulai dari “seing/watching, imaginating, being and doing and doing and doing…”[10] Sekali kita terjangkit virus pornografi maka itu akan sedemikian kuat mencengkeram kita hingga kita terikat dan semakin terjerumus di dalamnya. Hart menceritakan kisah berikut,

“Pete sejak kecil telah melihat majalah Playboy. Pertama kali ia melihatnya pada usia lima tahun dan tidak pernah berhenti melihatnya sejak saat itu. Majalah tersebut tergeletak di meja ayahnya. Majalah Playboy adalah lambang maskulinitas dan kekuasaan. Ia berhak melihat majalah Playboy entah isterinya menyukainya atau tidak. Selama bertahun-tahun semenjak pertama kali melihat gambar-gambar telanjang, Pete biasanya akan menyelinap ke ruang kerja ayahnya hanya untuk melihat-lihat koleksi majalah ayahnya. Pada mulanya ia hanya menarik kenikmatan dari sekedar iseng. Tetapi lama kelamaan ia memperoleh kenikmatan dari gambar-gambar porno. Gambar-gambar porno itu menjadi sahabatnya. Seksualitas dirinya pun berpengaruh. Tidak ada yang memberitahukan dia bahwa gambar-gambar tersebut diberi sentuhan akhir dengan airbrush, dan semua kekurangan yang ada dihapus. Ia mulai mengira bahwa semua wanita tampak seperti itu di saat berada di ranjang.

Pada usia 12 tahun Pete mulai beralih kepada majalah-majalah hardcore sebab ayah dari salah seorang kawannya berlangganan majalah ini, majalah yang lebih vulgar daripada Playboy. Sewaktu ayahnya masih di kantor, mereka pergi untuk melihat gambar-gambar porno itu. Pete lalu pulang ke rumah dan bermasturbasi sambil memvisualisasikan apa yang telah dilihatnya. Tidak lama setelah ia bermasturbasi, ia punya perasaan malu kepada dirinya sendiri. Bukan rasa bersalah yang Pete rasakan saat itu, melainkan rasa malu. Sebab tidak seorangpun di dalam keluarganya yang mengetahui apa yang ia perbuat. Anak ini malu akan rasa kurang pengendalian diri. Ia merasakan kepedihan di saat berpikir bila orang lain tahu apa yang diperbuatnya (selain teman-temannya yang bernasib sama), mereka akan menolak dia sebagai bagian dari keluarga…”[11]

Inilah siklus kecanduan yang akan menjadi bagian dari seseorang yang telah terjangkit virus pornografi di dalam hidupnya. Dan perasaan-perasaan malu, bersalah/berdosa, ataupun tidak layak itu akan berkembang dan kalau itu tidak diatasi maka akan menjadikan seseorang pecandu pornografi menjadi tidak percaya diri, minder, memiliki perasaan tidak berharga dan lebih suka menyendiri, jauh dari lingkungan sosial. Dan tentu saja jiwa maupun spiritualitas kita akan semakin tidak berdaya. Dari kasus Pete dan di hampir semua kasus-kasus lainya dapat kita perhatikan bahwa virus pornografi dan kecanduan seksual ini ternyata tidak berhenti bahkan hingga Pete menikah.

Dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan keluarga dan rumah tangga mereka dalam kondisi seperti ini? Dan tidakkah kita lihat bahwa kesenangan ayah Pete terhadap pornografi telah mengantar anaknya untuk menjadi seorang pecandu seksual. Disinilah kita bisa melihat bahwa virus pornografi mulai berdampak pada kehidupan keluarga-keluarga baik ayah, ibu, maupun anak-anak semuanya rentan terhadap virus yang mematikan ini.
Penelitian Hart terhadap Pengaruh Pornografi terhadap 600 responden berikut ini dapat menjadi perenungan kita sejauh manakah virus pornografi bersifat merusak?[12] Ya Tidak
Apakah melihat bahan-bahan pornografi bersifat mendidik? 2% 98%
Apakah berguna? 3% 97%
Apakah efeknya netral? 3% 97%
Apakah berbahaya? 84% 16%
Sebagai wanita, apakah Anda merasa direndahkan? 80% 20%
Apakah pornografi mendukung kekerasan terhadap wanita? 58% 42%
Apakah merendahkan seks? 71% 29%
Apakah ponografi membuat orang ketagihan? 70% 30%
Apakah mendistorsi seks? 82% 18%
Apakah destruktif? 71% 29%

Memiliki Seksualitas yang Sehat dalam Realitas Dunia yang Porno
Di dalam meresponi semua realita dunia Cosmosexpolitan yang menebarkan virus pornografi yang sangat mengancam jiwa dan keluarga kita, kita perlu kembali kepada kebenaran tentang Seksualitas yang Sehat yang telah dinyatakan oleh Sang Pencipta Seksualitas Sejati yaitu Allah sendiri. Kejadian 1:26-31 dan 2:7, 18-25 mencatat bahwa pada mulanya Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sesuai gambar dan rupaNya yang semuanya amat baik dan sempurna. Manusia juga diberi mandat untuk beranak-cucu dan bertambah banyak, yang berarti Allah menciptakan seks demi mewujudnyatakan perintahNya tersebut.[13]

Manusia laki-laki dan perempuan diciptakan dengan karunia untuk menikmati persetubuhan “menjadi satu daging” sebagai perwujudan cinta kasih yang sempurna di antara keduanya. Dan seksualitas manusia yang sempurna itu hanya boleh diwujudkan dalam sebuah pernikahan kudus, dimana Allah sendiri yang mempersatukan keduanya (Matius 19:5-6). terdistorsi oleh dosa. Kerusakan itu menyebabkan seks menjadi sesuatu yang bernilai rendah Kejadian 2:25 juga mencatat tentang keindahan dari sebuah ketelanjangan tanpa rasa malu karena memang diperkenan oleh Tuhan. Namun sejak dosa masuk ke dalam dunia, hubungan antara manusia dengan Allah terputus, dan dosa telah merusakkan seluruh keindahan hubungan seksualitas di dalam diri manusia.

Ketelanjangan yang indah berubah menjadi rasa malu, dan manusiapun mulai menutupi dirinya (Kejadian 3:7). Dan semenjak itulah hubungan seksualitas di antara laki-laki dan perempuan yang indah rusak, porak-poranda. Manusia tidak lagi mampu memahami seksualitas yang indah dan sempurna. Semuanya dan kehilangan keagungannya apalagi makna hakikinya. Tony Evans mengatakan,

“Kita bisa menyamakan seks dengan api. Api yang berada di tempat pembakaran bisa menghangatkan dan menyenangkan. Tetapi bila api itu keluar dari tempat pembakaran, api itu bisa membakar rumah dan menghanguskannya. Api seks telah diberikan di tengah pembakarannya yaitu pernikahan. Sekali ia keluar dari sana, seseorang akan kena nyalanya yang menghanguskan.”[14]

Kebenaran yang mutlak tentang seksualitas yang sehat adalah ketika manusia menikmatinya di dalam wadah pernikahan. Namun kebenaran ini telah diselewengkan dan keluar dari sasaran. Seksualitas yang bagaikan api itu akan menghanguskan siapa saja yang menikmatinya diluar pernikahan. Dalam hal ini pornografi telah membawa seksualitas itu sedemikian jauh keluar dari sasaran Allah menciptakan seks, dengan cara mengungkap kembali ketelanjangan manusia dalam sebuah media gambar, film dan media pornografi lainnya yang tidak nyata, tidak utuh dan semu.
Bagaimana menghadapi situasi yang sedemikian rumit? Mari sekali lagi kita melihat kepada kebenaran Firman Tuhan yang diberikan oleh Allah Sang Pencipta Seksualitas Sejati.

“Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu karena kamu tidak tahan bertarak” (I Korintus 7:2-5).

Rasul Paulus di dalam surat penggembalaannya kepada jemaat di Korintus sadar bahwa, jemaat Korintus hidup di dalam realitas kehidupan dunia yang tidak mudah. Korintus adalah kota yang maju, yang sangat memuja kehidupan seksual, bahkan percabulan jelas-jelas menjadi salah satu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Gereja Korintus hadir di tengah-tengah realitas percabulan, perselingkuhan dan “atmosfir seksualitas” yang menggelora. Bagaimana jemaat Korintus dapat bertahan dalam realitas yang seperti ini? Paulus menegaskan kembali bahwa pernikahan adalah satu-satunya wadah yang resmi dimana seorang laki-laki dan perempuan boleh mengungkapkan dan menikmati seksualitasnya dengan sehat.

Seorang laki-laki dan perempuan tidak berhak mengumbar tubuhnya untuk kesenangannya sendiri alias menikmati pornografi, masturbasi tanpa keterlibatan suami atau isterinya. Demikian juga hubungan seksual di luar pernikahan dalam bentuk apapapun akan membawa kepada konsekwensi masing-masing.
Bagaimana dengan seseorang yang belum menikah? Bagaimana ia harus menjaga kesucian seksualitasnya? Bukankah tidak dapat dipungkiri bahwa mereka juga memiliki nafsu seksual?

Hart mengatakan, “perasaan seksual yang kuat adalah wajar bagi semua pria normal. Hal ini lebih dipengaruhi hormon daripada oleh nafsu jahat. Hal ini bukanlah suatu dosa, dan ada dalam dan dari diri mereka sendiri.”[15] Namun di atas semua itu menunggu hingga saat yang tepat adalah suatu jawaban yang mungkin dirasa mustahil. Tetapi itu semua akan menjauhkan diri kita dari keterlibatan seksual yang lebih jauh yang akan menuntun kepada percabulan. “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan FirmanMu” (Mazmur 119:9).

Memang tidak mudah mempertahankan kesucian di tengah-tengah realitas dunia seperti ini, namun kiranya setelah melihat dan menyaksikan betapa dampak seksualitas di luar pernikahan sangat mematikan, kiranya kita dapat memilih untuk menantikan saat yang tepat dimana seorang laki-laki dan perempuan dipersatukan di dalam seksualitas yang indah dan agung di dalam pernikahan kudus. Ini adalah suatu pilihan. Setiap kita berhak untuk memilih dan masing-masing ada konsekwensinya, mentaati Firman Tuhan atau melanggarnya.

Hal lain yang penting adalah pendidikan seks sejak dini. Dari beberapa contoh kasus di atas, kita dapat melihat bahwa bahaya virus pornografi dapat mengincar siapapun sejak usia muda mereka. Dan adalah lebih baik jikalau kita sebagai orang tua mau secara jujur dan terbuka memberikan pendidikan seks kepada anak-anak kita sebelum mereka direnggut oleh ganasnya virus yang bernama pornografi tersebut.[16]

Jagalah Hatimu (Keluargamu) dengan Segala Kewaspadaan!
Bagaimana kalau kita sudah berusaha untuk mentaati Firman Tuhan, apakah kita otomatis akan terbebas dari ancaman virus pornografi? Mungkin tidak semudah itu, namun satu hal yang paling penting adalah bagaimana kita, baik sebagai seorang suami isteri maupun anak muda bersama-sama menjaga hati kita agar senantiasa dimampukan untuk meredam segala ancaman beredarnya virus pornografi di sekeliling kita. Tuhan Yesus menetapkan suatu standar yang lebih lagi, “tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Matius 5:28).

Maka jangan biarkan imajinasi kita melayang jauh ketika kita berhadapan dengan atmosfir udara yang menebarkan berbagai virus pornografi, tetapi jauhkanlah pandangan mata dan hati kita darinya. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23).
Bagaimana kalau kita masih terlibat di dalam belenggu pornografi?

Bagaimana mematahkan belenggu pornografi tersebut? Hart memberikan beberapa saran praktis dan teologis sebagai berikut:

1. Jujurlah kepada diri sendiri dan akuilah bahwa kita memiliki masalah.
2. Bertanggungjawablah kepada seseorang (pasangan kita). Beritahukanlah kebiasaan buruk kita kepada seseorang yang bisa kita percayai.
3. Buanglah semua bahan-bahan pornografi yang kita miliki. Jangan sisakan sedikitpun. Jika kita tergoda untuk menyewa VCD porno, jangan mengunjungi tempat penyewaan video dan semacamnya. Bila perlu buang juga kartu anggota kita pada tempat persewaan video tersebut.
4. Sabarlah dan buanglah semua perasaan “gagal”, bila kenyataannya kita gagal. Kebiasaan kita memerlukan waktu untuk bertumbuh maka akan diperlukan waktu juga untuk membinasakannya.
5. Berdoalah atas masalah yang kita hadapi. Mintalah pelepasan dan kekuatan kepada Allah. Allah berjanji untuk memberikan perbedaan di dalam kehidupan kita. Izinkah Dia memberikan kekuatan khusus yang kita perlukan untuk memenangkan “peperangan” ini.[17]
Dengan demikian adalah penting bagi kita untuk memiliki kesadaran akan Allah yang memahami seksualitas kita. Allah yang mengerti segala pergumulan dan pergulatan batin kita melawan dorongan-dorongan nafsu di dalam diri kita. Dan Allah yang mampu menolong kita di dalam menyelesaikan segala permasalahan yang diakibatkan oleh virus pornografi yang mungkin telah menjangkiti jiwa maupun mengancam keluarga kita.

Biarlah di tengah-tengah segala perjuangan ini kita sadar bahwa kita bukan berjuang dengan kekuatan kita sendiri namun berbekal kuasa kasih yang Ilahi dari Tuhan Yesus Kristus yang telah memahami pergulatan kita dalam bentuk apapun termasuk seksualitas kita sebagai manusia (Ibrani 4:14-15). Ia juga telah dicobai namun tidak berbuat dosa. Selanjutnya mari kita mohon kiranya kasih karunia Allah akan senantiasa memampukan kita untuk menghadapi pergulatan di dalam menjaga kemurnian seksual kita di tengah-tengah dunia Cosmosexpolitan yang menebarkan virus pornografi dengan segala macam bentuknya. “… dan barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!” (Wahyu 22:11b).
Soli Deo Gloria!

© 2004 by Christopher Andios


Daftar Pustaka
Arterburn, Stephen., dan Burns, Jim. Arahkan Dengan Jitu. Jakarta: Harvest Publication
House, 1997.
DeMoss, Jr., Robert G. Belajar Membedakan. Surabaya: Citra Pustaka, 1992.
Evans, Tony. No More Excuses. Jakarta: Cipta Olah Pustaka, 1999.
Hart, Archibald D. The Sexual Man. Jakarta: Metanoia, 2003.
LaHaye, Tim dan Beverly. Kehidupan Seks dalam Pernikahan. Bandung: Yayasan
Kalam Hidup dan Yogyakarta: PBMR Andi, 2004.
Roberts, Ted. Nafsu yang Murni. Jakarta: Nafiri Gabriel, 1999.


[1] Istilah saya untuk menggambarkan dunia (cosmos) yang beratmosfir seks.
[2] Stephen Arterburn dan Jim Burns, Arahkan Dengan Jitu (Jakarta: Harvest Publication House, 1997), hlm. 210.
[3] Archibald D. Hart, The Sexual Man (Jakarta: Metanoia, 2003), hlm. 6.
[4] Fakta menunjukkan bahwa pornografi dewasa ini dianggap sebagai bisnis bernilai $ 10 miliar per tahun di Amerika. Dan di tahun 1985, Ladies Home Journal menyajikan dengan bagus artikel tentang tingkatan dari industri cabul: Amerika mengeluarkan $ 8 hingga $ 10 miliar per tahun untuk materi-materi pornografi. (ini jauh melebihi jumlah yang dibelanjakan oleh gabungan tiga jaringan televisi utama - $ 6,2 miliar). Lebih dari 20 juta orang Amerika membeli majalah yang berorientasi seks setiap bulannya. 15 % dari seluruh video yang diperdagangkan menyajikan perilaku seksual yang gamblang. (Sumber: Arterburn dan Burns, Arahkan Dengan Jitu, hlm. 219).
[5] Arterburn dan Burns, Arahkan Dengan Jitu, hlm. 211-212, kutipan dari Focus on the Family Magazine “Fatal Addiction: Ted Bundy’s Final Interview with Dr. James Dobson,“ 1989.
[6] Bandingkan ibid., hlm. 216.
[7] Dinasti majalah Playboy dibangun dari uang para pria yang ingin bermasturbasi dengan wanita-wanita obyek fantasi. Saat mereka berfantasi dengan gambar makhluk “yang sempurna” yang terbuat dari sapuan cat semprot, sebenarnya mereka tengah meremehkan arti pernikahan dan kemampuan mereka untuk berhubungan intim dengan wanita yang bernyawa (Sumber: Arterburn dan Burns, Arahkan Dengan Jitu, hlm. 218).
[8] Robert G. DeMoss, Jr., Belajar Membedakan (Surabaya: Citra Pustaka, 1992), hlm. 98.
[9] DeMoss, Jr., Belajar Membedakan, hlm. 97-98.
[10] Ted Robert seorang pendeta yang melayani dalam pelayanan konseling bagi para pecandu seks mengatakan bahwa, “Dengan timbulnya fantasi yang bersifat obsesif ini, pengendalian diri secara cepat berkurang. Dan sekali saja suatu tingkat keasyikan tertentu mendominasi pikiran, maka usaha untuk menghentikan proses itu hampir merupakan hal yang mustahil. Tahap mental dari siklus ini bisa menghabiskan banyak waktu. Sesungguhnya, sebagian besar dari waktu seseorang yang berada di dalam siklus ketagihan ini dihabiskan di dalam tahap ini. Ia benar-benar hidup di dalam sebuah dunia fantasi.” Ted Roberts, Nafsu yang Murni (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1999), hlm. 122.
[11] Hart, The Sexual Man, hlm. 98.
[12] Hart, The Sexual Man, hlm. 105-106.
[13] Perintah itu diberikan sebelum dosa masuk ke dalam dunia, oleh sebab itu persetubuhan dan prokreasi telah ditetapkan Allah dan dinikmati oleh manusia ketika masih hidup di dalam keadaanya yang mula-mula yakni tanpa dosa. Tim dan Beverly LaHaye, Kehidupan Seks dalam Pernikahan (diterbitkan bersama oleh Bandung: Yayasan Kalam Hidup dan Yogyakarta: PBMR Andi, 2004), hlm.11.
[14] Tony Evans, No More Excuses (Jakarta: Cipta Olah Pustaka, 1999), hlm. 58.
[15] Ibid., hlm. 5.
[16] Untuk pemahaman lebih jelas bisa melihat di dalam buku Robert G. DeMoss, Jr., Belajar Membedakan, hlm. 105-153 tentang Bagaimana Menetapkan Standar dll. Bandingkan juga dengan Hart, The Sexual Man, hlm. 216-219 tentang Pedoman untuk Pendidikan Seks yang Sehat.
[17] Hart, The Sexual Man, hlm. 114.

No comments: