Monday, January 23, 2012

YOUTH INSTITUTE SEMINAR 2012


Siapakah kaum muda sebenarnya? Organisasi Pendidikan, Ilmiah, dan Budaya Dunia (UNESCO), mendefinisikan kaum muda sebagai orang-orang yang berada di usia 15-24 tahun. UNESCO melihat bahwa kaum muda adalah kelompok usia yang sangat majemuk dan terus berubah. Para ahli tentang perkembangan generasi memberi istilah Generasi Y atau Millennials bagi kaum muda masa kini. Generasi Y atau Millennials ini mau merujuk pada kelompok usia yang lahir setelah tahun 1980-an dan menandakan generasi baru menjelang millennium yang baru.

Secara fisik anak remaja bertumbuh pesat dan layaknya orang dewasa. Namun secara neurologis mereka bukanlah orang dewasa. Mereka sedang bertumbuh atau dalam istilah para ahli mereka adalah pekerjaan yang sedang berlangsung (a work in progress).

Jika kaum muda kita hari ini adalah pekerjaan yang sedang berlangsung, bagaimana dengan pelayanan kaum muda kita? Dr. Oliver Barclay salah seorang pemimpin pelayanan mahasiswa internasional pernah mengatakan, “Peperangan apa yang kita hadapi saat ini?”. Beliau mau mengatakan bahwa dalam melayani generasi kaum muda masa kini memerlukan strategi dan cara pelayanan yang berbeda. Barclay menegaskan bahwa kita tidak bisa hanya menggunakan apa yang dahulu dianggap berhasil untuk digunakan masa kini. Harus ada cara yang berbeda dalam melayani generasi zaman ini.

Daftarkan diri Anda, Seminar Youth Institute 2012 dengan topik: "Janganlah seorang menganggap engkau rendah karena engkau muda" (1 Tim 4:12-13)

Pembicara:

1. Marojahan Sijabat (Pendiri 3JEPS Ministry, Youth Revival Movement): Why Youth?
2. Evans Garey (Dosen,Wakil Rektor UKRIDA Jakarta, Pendiri Youth Institute): Loving Your Youth Without Losing Your Mind
3. Christopher Andios (Youth Pastor at GKMI Koinonia, SEED Director, Facilitator of Youth 4 Peace Community): Relationship Driven Youth Ministry

Hari/Tgl: Rabu, 1 Februari 2012

Waktu: Pkl. 17.00-21.00 WIB

Tempat: Ruko Nginden Intan Timur II/25 Blok B2-44 (Belakang IPH School) Surabaya

Registrasi: Andios (08161892797) Ketik: DAFTAR_SEMINAR_NAMA_ORGANISASI_NOTelp_JMLH

Disediakan Makan Malam

Tidak dipungut biaya (gratis), tempat terbatas!

Salam pergerakkan kaum muda!

INSIDE OUT


Dr. Larry Crabb, yang adalah Ketua serta Guru Besar di Graduate Departement of Biblical Counseling di Colorado Christian University, di dalam buku ini tidak berbicara tentang "pengurangan" penderitaan seperti yang banyak diberitakan dalam kekristenan modern saat ini. Buku ini berbicara tentang "perubahan" yaitu "perubahan dari dalam ke luar."

Pesan utama buku ini bukanlah "Inilah caranya untuk merasa lebih baik sekarang dan kini", namun Crabb justru membicarakan tentang rute atau perjalanan dari suatu proses transformasi karakter yang panjang yaitu seumur hidup kita. Yang dimaksud dengan "perubahan dari dalam ke luar" ini adalah suatu proses untuk melihat dan menggumuli penderitaan sebagai suatu realitas yang akan menumbuhkembangkan kualitas iman kita.

Perubahan itu bagi Crabb bukanlah sekedar perubahan fenomena kehidupan kita dari luar, tetapi lebih merupakan perubahan yang dilakukan di tempat yang paling dalam yaitu hati kita. Proses perubahan itu menurut Crabb dimulai oleh suatu pandangan yang jujur ke dalam kehidupan kita terhadap semua hal yang sulit yang pernah terjadi di dalam kehidupan kita. Kejujuran itu adalah untuk melihat bagian hidup kita yang paling dalam yang mungkin begitu kelam, pedih dan menakutkan.

Kristus menginginkan kita untuk menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan hidup sebagai sebagai suatu realita yang harus dihadapi, termasuk: ketakutan, rasa sakit, kebencian dan motif untuk melindungi diri sendiri dan muncul sebagai orang-orang yang diubahkan, bukan orang yang berpura-pura berubah tetapi orang yang benar-benar berubah. Jadi tujuan perubahan dari dalam ke luar bukanlah suatu keselarasan dengan standar-standar Kristen atau peningkatan taraf kehidupan yang menuju kebahagiaan, namun perubahan ini lebih difokuskan kepada perubahan karakter yang menuju kedewasaan seperti Kristus.

Selanjutnya ia juga mencoba menggali berbagai kerinduan-kerinduan yang ada di dalam hati manusia yaitu kerinduan untuk memuaskan jiwa kita melalui pemenuhan hal-hal yang bersifat jasmaniah, hubungan dengan orang lain, dan kerinduan akan Tuhan sebagai langkah selanjutnya untuk mengalami perubahan itu. Bagi Crabb hal yang penting adalah menyadari kehausan kita akan hal-hal tersebut. Ketika kita sadar, maka kita akan mampu melihat bahwa semuanya adalah wajar sehingga kita bisa mencari solusi selanjutnya.

Kemudian ia meneruskan pembahasannya dengan memberikan uraian tentang bagaimana memikirkan strategi-strategi yang salah untuk menghadapinya yaitu usaha -usaha melindungi diri sendiri dan menjadi seseorang yang selalu menuntut. Crabb juga secara jelas membahas tentang dosa dari "roh yang selalu menuntut" ini dalam kaitannya dengan dosa melindungi diri sendiri yang menurutnya adalah salah satu dosa terbesar yang menghambat perubahan itu. Menuntut agar Tuhan memuaskan kita dan lain sebagainya adalah sesuatu yang salah.

Kita harus bisa menerima setiap kejadian, atau keadaan yang sesulit apapun sebagai wujud ketaatan dan kerendahatian kita. Ini bukan berarti bahwa masalah, penderitaan dan pergumulan kita akan selesai dengan tuntas. Namun penerimaan ini akan menolong kita untuk lebih memahami makna penyertaan Tuhan dengan lebih nyata. Jadi keadaan hati kita harus selalu terarah kepada Tuhan dan kita harus mempercayakan rasa haus kita kepada Tuhan.

Selanjutnya Crabb memaparkan langkah-langkah Alkitabiah untuk mengalihkan arah dari usaha-usaha untuk melindungi diri kita sendiri kepada usaha untuk mencari Tuhan. Dan dari pengalihan itulah nantinya akan muncul suatu perubahan yang sejati yaitu "perubahan dari dalam ke luar." Namun di atas semuanya ini Crabbpun mengatakan bahwa "perubahan dari dalam ke luar adalah suatu karya Tuhan, dan karena itu harus terus merupakan suatu misteri. Dengan selalu mengingat bahwa hal ini bisa membantu kita mempertahankan pengharapan setiap pengajaran yang realistis tentang perubahan sebaik penghormatan terhadap Tuhan yang jalan-jalanNya selalu jauh di atas jalan-jalan kita." (hlm.229-230).

Buku ini menyajikan sebuah konsep yang cukup dalam tentang pemahaman kepada diri kita sendiri. Buku ini mencoba untuk memberikan kepada kita suatu petunjuk bagaimana kita bisa mengalami suatu perubahan yang sejati yaitu perubahan yang menyangkut segala permasalahan tentang keadaan hati kita. Dengan harapan bahwa melaluinya kita akan menemukan kebenaran-kebenaran yang akan memerdekakan kita yaitu kebenaran karena kita mampu ke luar dari lembah kekelaman kepada bukit pengharapan kebebasan kita.

Namun bukan berarti kita akan benar-benar lepas dari kekelaman itu dengan sempurna namun kita akan dimampukan untuk melangkah ke bukit pengharapan kekal yang menjadi tempat perhentian kita. Jadi Crabb dalam buku ini telah menyajikan suatu pemahaman yang begitu Alkitabiah yang di dukung dengan pemahamannya yang kompeten dalam bidang psikologi. Sehingga dalam buku ini terlihat suatu integrasi konsep yang baik antara pemahaman dasar manusia yang dilihat dalam prinsip-prinsip psikologi dengan pemahaman Alkitabiah tentang manusia dalam relasinya dengan Tuhan.

Disinilah kita bisa melihat kualitas Crabb sebagai seorang konselor yang berkompeten di bidangnya. Secara sistematika penulisan buku ini sudah cukup baik, jelas dan mampu mengarahkan pembacanya untuk mencapai tujuan penulisan buku ini. Buku ini menurut saya sangat perlu untuk dibaca oleh setiap orang yang benar-benar mau memiliki kehidupan Kristen yang sejati yang mengalami proses transformasi terus-menerus ke arah kesempurnaan di dalam Kristus.

Saya sendiri mendapatkan begitu banyak kebenaran-kebenaran yang ingin saya terapkan dalam hidup saya yaitu dengan melihat keadaan hati saya secara jujur dan membiarkan Tuhan membersihkan segala kotoran-kotoran dan memulihkan pengalaman-pengalaman pahit dalam masa lalu saya. Oleh sebab itu buku ini sangat menolong saya di dalam memahami mengapa hidup kita senantiasa dipenuhi dengan penderitaan-penderitaan yang sepertinya tidak kunjung berhenti. Dengan memahami keadaan hati saya yang sesungguhnya, dan menyerahkannya kepada Tuhan maka saya akan mengalami kehidupan yang berkemenangan. Inilah perubahan yang sejati itu yaitu perubahan dari dalam ke luar.



THE JOY OF CARING


Dalam buku The Joy of Caring ini, Gary R. Collins, seorang profesor psikologi dari Trinity Evangelical Divinity School Illinois, menawarkan sebuah pemahaman yang alkitabiah dan praktis untuk mengembangkan kemampuan kita di dalam menolong orang lain khususnya ketika menghadapi pergumulan-pergumulan hidup mereka yaitu melalui "caring".

Di dalam penguraiannya, Collins membagi ke dalam tiga bagian utama yaitu: Prinsip-prinsip Caring, Prioritas Caring dan Hal-hal Praktis dari Caring. Secara prinsip ia menjelaskan bahwa, caring adalah salah satu bagian dari sifat Allah yang seharusnya menjadi fokus utama dalam gaya hidup setiap orang yang benar-benar ingin menjadi pengikut Kristus. Selanjutnya caring merupakan perwujudan dari sebuah perhatian yang mendalam dan tulus terhadap pergumulan yang dialami oleh orang lain.

Jadi caring dapat juga diartikan sebagai suatu prakarsa seseorang untuk mengenal orang lain, menghargai orang lain, menjadi orang yang dapat dipercayai dan setia bagi orang lain serta berani mengambil resiko apapun bagi orang lain. Oleh sebab itu di dalam caring harus terdapat unsur-unsur pengertian, keramahan atau kehangatan dan ketulusan yang kesemuanya itu diwujudkan melalui kasih dan belas kasihan yang nyata.

Inti pemahaman utama dari penjelasannya tentang caring ini sangat menarik, di mana ia menggunakan analogi "the Helper Theraphy Principle". Prinsip ini diterapkan dalam terapi yang dilakukan dalam dunia medis, bilamana ada seseorang yang telah sembuh dari ketergantungan obat bius atau alkohol, akan sangat terbantu ketika mereka justru dilibatkan kembali dalam usaha pemulihan orang-orang lain yang mengalami pergumulan yang sama. Collins membandingkan hal ini dalam kaitannya dengan prinsip caring seperti dalam ungkapannya: "Ketika kita menolong dan memperhatikan orang lain, kita, orang yang melakukannya adalah orang yang justru paling beruntung karena ketika kita memperhatikan orang lain, kita seringkali merasakan kepuasan dan penerimaan diri yang muncul dari kenyataan bahwa hidup kita berguna bagi orang lain" (hlm.16).

Secara prioritas Collins mengungkapkan bahwa caring dimulai dari pemahaman terhadap diri sendiri bahwa kita adalah gambar dan rupa Allah yang mempunyai natur dan kasih ilahi, di mana kita akan dimampukan untuk mengasihi orang lain melaluinya. Pemahaman tentang gambar diri yang benar juga akan mempengaruhi tindakan kasih kita. Selanjutnya caring harus dinyatakan dalam keluarga, komunitas di sekitar kita, bahkan kepada para pemimpin kita, dan terlebih lagi adalah kepada orang-orang lain yang membutuhkan perhatian itu: yaitu orang-orang yang hidup di dalam keragu-raguan karena penderitaan, sakit-penyakit, stress, depresi, kehilangan jati diri dan terlebih orang yang ragu akan imannya kepada Tuhan. Kepada orang-orang seperti inilah kasih dan perhatian itu harus kita nyatakan.

Menurut Collins, pemahaman tentang caring yang benar harus dimulai dari gereja. Gereja seharusnya menjadi model kehidupan yang penuh kasih, perhatian dan persekutuan seperti yang ditulis di dalam Ibrani 10:19-25, "…dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik…." Saya sangat tertarik dengan penjelasan Collins yang mengatakan bahwa caring harus dikaitkan dengan panggilan gereja yaitu: evangelizing, establishing, dan equipping (penginjilan, kedewasaan di dalam iman dan pemberdayaan umat). Semua ini dikaitkan dengan Amanat Agung Tuhan Yesus. Jadi caring sangat terkait erat dengan pertumbuhan jemaat baik secara kualitas maupun kuantitas dengan kata lain bahwa dengan menyosialisasikan dan menerapkan caring di dalam gereja maka secara otomatis, akan mempengaruhi suasana maupun atmosfir persekutuan di antara gereja itu sendiri.

Pada bagian terakhir, Collins menekankan bahwa penerapan caring dalam kehidupan kita akan membawa dampak

positif bagi kita sendiri seperti prinsip yang diterapakan Tuhan Yesus di dalam kehidupanNya. Saya setuju dengan pendapatnya bahwa "dalam pandangan Yesus, sukses dan kebesaran diberikan kepada mereka yang mau melayani" (hlm. 181). Dengan mengasihi dan memperhatikan orang lain, maka kita akan semakin diperbaharui di dalam pemahaman kita akan kasih Kristus dan kita sendiri akan menjadi orang yang bersukacita. Kasih itu telah dinyatakan Kristus melalui karya penebusanNya di kayu salib. Melalui pengalaman kita dengan Kristus dan melalui FirmanNya, kita dapat menjadi orang-orang yang mampu untuk mempedulikan orang lain.

Jadi kasih dan kepedulian kita (caring) kita merupakan perwujudan dari ungkapan syukur kita serta suatu tindakan syukur terhadap karya penebusan Kristus bagi kita. Memang benar bahwa caring mungkin sulit dan tidak nyaman bagi kita , tetapi kita harus ingat bahwa kasih dan kepedulian kita kepada orang lain adalah sangat berharga dan memuliakan Tuhan, dan itu adalah sukacita yang sejati dan kekal: sukacita karena mengasihi, sukacita karena melayani, the joy of caring.

Buku ini adalah sebuah buku how-to-do-it yang berisi prinsip-prinsip alkitabiah tentang caring yang disajikan dengan sederhana namun mendalam yang di dalam pembahasannya disertai dengan contoh-contoh kesaksian yang sangat menyentuh hati yang diambil dari pengalaman hidup Collins sendiri. Tujuannya adalah agar pembaca memahami dan mengalami sendiri sukacita caring seperti yang dijelaskannya dalam buku ini. Dari sudut isi, buku ini sangat terperinci di mana ia menguraikan caring ke dalam berbagai aspek yang luas serta mendalam baik dalam sisi psikologis maupun pemahaman alkitabiah yang radikal. Ia tidak hanya membahas caring dalam pengertian yang sempit namun ia telah menguraikan kaitan caring dengan panggilan gereja serta panggilan umat Kristen sebagai pengikut Kristus secara individual. Terlebih ia telah berhasil untuk mendorong kita sebagai pembaca untuk ikut terlibat di dalam panggilan ketaatan pengikut Kristus yaitu menjadi orang-orang yang caring terhadap orang lain.

Saya secara pribadi sangat menikmati uraian-uraiannya yang sangat sederhana namun mampu menggugah hati saya untuk segera menerapkan kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya. Caring adalah suatu keharusan mutlak sebagai setiap orang yang sudah mengalami kasih Allah. Kita tidak bisa memilih untuk tidak mengasihi orang lain, karena kita tidak bisa tidak harus mengasihi dan peduli terhadap orang lain. Itulah panggilan kita sebagai pengikut Kristus. Dan buku ini telah menjadi motivator yang sangat baik karena telah menyajikan suatu realita yang relevan yaitu keharusan untuk mengasihi dan memperhatikan orang lain karena kasih dan kebenaran yang telah kita terima lebih dahulu dari Allah melalui karya penebusan Kristus.

Tuesday, January 17, 2012

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian Terakhir



F.Metode Pendidikan

Dalam hal metode pendidikan Christ-Centered Education ini, saya melihat bahwa teladan yang paling utama yang dapat kita pelajari adalah metode pengajaran Tuhan Yesus sendiri. Peter P. Person dalam An Introduction to Christian Education memberikan beberapa penjelasan tentang metode pendidikan yang salah satunya adalah "problem projects."

Metode ini menurutnya adalah suatu metode belajar dengan mendengarkan, tetapi kita juga belajar sambil melakukannya (learning by doing). Ia mengatakan lebih lanjut sebagai berikut, "In the problem-project method, we not only think about what things might and should be done, but we do them." Proses untuk melakukan ini dilakukan baik di kelas maupun di luar kelas. Ini berarti bahwa proses pelajaran ini sudah menjadi bagian yang integral dalam hidup kita sehari-hari. Dan semakin kita melakukan apa yang kita pelajari maka kita akan semakin memahami apa yang kita pelajari.

Prinsip ini adalah prinsip yang Tuhan Yesus ajarkan sendiri di dalam Firman Tuhan: berbahagialah setiap orang yang mendengarkan Firman Tuhan, menyimpannya dalam hati dan melakukannya. Inilah metode pendidikan Christ-Centered Education, yang tidak hanya mengandalkan aspek kognitif-logika saja tetapi juga menekankan aspek afektif-aktif yaitu melakukan dan mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Sama seperti Kristus yang tidak hanya berbicara tetapi juga melakukan semua yang Ia ajarkan, bahkan sampai mati di kayu salib. Inilah prinsip pendidikan yang penting, tidak hanya mendengar tetapi melakukan.

Kesimpulan

Pendidikan Kristen yang Berpusat pada Kristus (Christ-Centered Education) adalah suatu pengintegrasian dari seluruh aspek, unsur, nilai-nilai pengajaran dari Tuhan Yesus dan Alkitab sebagai pewahyuan dari Allah kepada manusia. Allah sebagai Sang Inspirator Pendidikan yang Sejati, mau bekerjasama dengan unsur pendidikan yang lain yaitu manusia sendiri sebagai alat yang dipakai Tuhan di dalam rangka mendidik orang-orang berdosa kepada pengenalan yang benar akan Kristus dan menjadikannya seorang murid yang sejati.

Dan melalui karya Roh Kudus dan Guru yang dipilihnya, Allah bekerja menghasilkan pertumbuhan karakter yang akan membawa seseorang itu memiliki hubungan yang benar dengan Allah dan sesamanya. Pendidikan Kristen adalah juga suatu proses yang terus-menerus dikerjakan dalam masa-masa pengudusan (the sanctification period), di mana Allah terus berkarya di dalam dunia, di dalam pribadi demi pribadi dan membawanya kepada persekutuan yang intim denganNya sendiri, demi kemuliaanNya, demi kerajaanNya. Inilah tujuan pendidikan Kristen yang sejati yang berasal dari Allah, oleh Allah dan untuk Allah (Roma 11:36) yaitu pendidikan yang berpusat pada Allah (Christ-Centered Education).


Daftar Pustaka

Berkley, James D. Leadership Handbooks of Practical Theology, vol. 2 (Grand Rapids:
Baker Books and Christianity Today, 1995.
Caugel Kenneth O. & Hendricks Howard G. (ed.) The Christian Educator’s Handbook
on Teaching. ____: Victor Brooks, 1988.
Pazmiño, Robert W. Foundational Issues in Christian Theology. Grand Rapids:
Baker Books House, 1997.
Person, Peter P. An Introduction to Christian Education. Grand Rapids: Baker Book
House, 1969.
Taylor Marvin J. (ed.). An Introduction to Christian Education. Nashville: Abingdon
Press, 1966.

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian 6



E.Konteks/Tempat

Dalam hal melihat konteks/tempat pendidikan, saya setuju dengan pendapat D. Campbell Wyckoff yang menyebutkan tiga aspek yang interaktif sebagai berikut:

1. Aspek alamiah (natural aspect). Ini menyangkut faktor-faktor secara fisik dan bahan material dari sebuah ruang kelas, meliputi pengaturan ruangan, dekorasi, nilai seni, dan penyediaan tampilan, hal ini menyangkut visibilitas, mobilitas dan kenyamanan.

2. Aspek kemanusiaan (human aspect). Ini berfokus pada teacher dan student dan sumber daya manusia yang lainnya, ini menyangkut juga komitmen, interaksi, dan kemauan untuk saling berbagi dalam satu komunitas pendidikan.

3. Aspek Ilahi (divine aspect). Roh Kudus adalah kehadiran yang menentukan lingkungan pendidikan dan tantangannya adalah menciptakan kondisi-kondisi dimana Roh Allah mampu bekerja secara maksimal menghasilkan buah di dalam kehidupan seseorang.

Ketiga aspek ini merupakan gabungan dari ketiga unsur utama dalam proses pendidikan yang tidak boleh dihilangkan salah satunya. Ketiga aspek ini merupakan unsur mendasar dan paling penting di dalam menciptakan suatu lingkungan/ tempat pendidikan yang baik dan nyaman.

(Bersambung)

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian 5



D.Siapa yang Dididik?

Al Edeker dalam “A Philosophy of Christian Education” menguraikan beberapa perspektif Alkitabiah di dalam rangka memahami “siapakah yang dididik itu?”

Pertama, bahwa the student/pelajar/siswa/murid adalah seorang ciptaan Tuhan dan ia diciptakan dalam peta dan teladan Allah. Setiap murid itu memiliki nilai di dalam pandangan Allah. Ini berarti bahwa seorang murid juga harus menghargai murid yang lainnya. Seorang murid bukan warga kelas dua atau sebuah kontainer kosong yang perlu diisi, tetapi ia adalah seorang yang berharga dan potensial.

Point kedua adalah bahwa semua murid adalah orang berdosa. Bagaimanapun juga mereka memiliki keterbatasan, kesalahan, dan tingkah laku yang merusak yang berdampak pada pertumbuhan dan interaksinya dengan orang lain.

Ketiga, setiap manusia secara potensial adalah anak Allah yaitu di dalam Kristus.

Keempat, seorang murid mempunyai kemampuan untuk berubah dan bertumbuh. Pandangan Kristen menyatakan bahwa melalui pekerjaan Roh Kudus, tingkah laku yang merusak dari seorang murid akan bisa dikoreksi dan diperbaharui dalam proses pengudusan setiap hari.

Kelima, seorang murid bertanggungjawab di hadapan Tuhan untuk setiap perbuatannya, keberdosaan dan responnya di hadapan Allah. Saya sangat setuju dengan uraian Edeker selanjutnya bahwa seorang murid dikatakannya memiliki dua unsur penting yaitu potensialitas dan tanggung jawab. Ia akhirnya menyimpulkan ke dalam point-point sebagai berikut sebagai kriteria dasar seorang murid yang sejati:

1. The student should strive to grow into the likeness or Christ.
2. The Christian student should worship and glorify God through his/her learning and the application of that learning.
3. The student is to be a good steward of his/her talents.
4. The student should be diligent in all that his/her hands find to do.
5. The student should test all knowledge with Scripture and test spirits and teacher.
6. The student should apply his/her learning, being not only hearers but doers (James 1:22-25).
7. He or she should remain open to the work of the Holy Spirit.
8. He or she should value all of creation.
9. He or she should be in community and encourage others (Heb. 10:24-25).

Dilihat dari kriteria-kriteria dasar di atas, kita melihat bahwa seorang murid yang sejati memiliki dua unsur yang utuh yang penting untuk dikembangkan yaitu: potensialitas dan tanggung jawab. Ini mengandung dua sisi, ini mengandung dua implikasi bahwa seorang murid membutuhkan didikan dari luar namun ia juga harus melihat dirinya sebagai pribadi yang bertanggung jawab.

Ini semua dikerjakan bersama-sama baik oleh Roh Kudus maupun Guru yang dipakai Tuhan untuk mengejawantahkan "pengajaran-pengajaran Kristus" itu ke dalam hidup setiap murid, sehingga melalui proses pendidikan, akan terjadi transfer "nilai-nilai maupun kebenaran serta karakter Kristus" di dalam diri para murid.

(Bersambung)

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian 4



C.Siapa Pendidik itu?

Michael S. Lawson dalam “Biblical Foundations for A Philosophy of Teaching” mengatakan “bahwa mandat utama dari pendidikan Kristen yang diberikan oleh Kristus adalah lebih daripada sekedar menyampaikan informasi. Berdasarkan Matius 28:19-20, seorang guru Kristen harus mendidik para murid. Seorang guru Kristen harus bergumul dengan tugasnya sampai para murid menjadi seorang murid dari Yesus Kristus sendiri.”
Sedangkan James R. Slaughter dalam “The Teacher as Discipler” mengatakan,

“God calls all Christians to make disciple, and Christian teachers are no exeption. Indeed they have a unique opportunity to mold the development of their students regardless of the discipline they teach. The teacher disciples his student by acting as their shepherd (the ministry of consecration), as their friend (the ministry of affection), as their model (the ministry of demonstration), as their servant (the ministry of ministration) dan as their unifier to thruth (the ministry of integration).”

Jadi apa hakekat seorang Pendidik/teacher itu? Seorang Pendidik adalah seorang Guru yang memuridkan atau menjadikan seseorang murid Kristus. Lawson mengklasifikasikan dua golongan makna dari arti teacher ini. Golongan pertama meliputi: expert, authority, professional, genius, intellectual, master, specialist, briliant.

Dan golongan kedua adalah: guide, coach, facilitator, model, encourager, motivator, stimulator, dan mentor. Menurutnya, golongan kata yang kedua ini mengandung makna yang lebih relevan bagi murid yang diajar. Karena kata-kata ini lebih mendarat, lebih dapat diterima oleh para murid.

Selanjutnya Wilbert J. McKeachie memberikan enam peranan dari seorang teacher yaitu :
1. Expert/neophyte. As an expert, the teacher is to transmit information-the concepts and perspectives of the field or subject-while recognizing areas of inadequate expertise.

2. Formal authority/subject. As a formal authority, the teacher is to set goals and procedures for reaching goals and as a subject be open to students’ suggestions where appropriate.

3. Socializing/socialized agent. As a socializing agent, the teacher is to clarify goals and options beyond the class or course and to prepare students for these. As a socialized agent, the teacher is to be open to the suggestions and influence of students and others within and beyond the teaching settings.

4. Facilitators. As a facilitator the teacher is to promote creativity and growth in students’ own terms and to help them overcome obstacles to learning. The teacher is to be sensitive to his or her own creativity and growth.

5. Ego ideal in process. As an ego ideal, the teacher is to convey the excitement and value of educational inquiry in given areas and recognize areas where ideals and practice are lacking.

6. Person. As a person, the teacher is to convey the full range of human needs and skills relevant to and sustained by one’s educating activity, to be validated as a human being, and to validate the students to persons.

Sedangkan Herman Harrell Horne dalam karya klasiknya Jesus the Master Teacher, menguraikan beberapa kualifikasi yang esensial dari seorang teacher:

1. A vision that encompases the world
2. Knowledge of the heart of man
3. Mastering of the subject taught
4. Aptness is teaching
5. A life that embodies the teaching

Dengan melihat konsepsi-konsepsi di atas tentang kualifikasi, dan pemahaman tentang “who is the teacher?” maka dalam kaitan dengan Christ-Centered Education ini, saya melihat bahwa seorang Pendidik adalah seorang Guru yang mengarahkan, melatih, mendidik seorang murid melalui keberadaannya sebagai seorang “sparing parter” seorang “mentor” yang bisa menjadi sahabat, namun tetap tidak kehilangan esensinya sebagai Pendidik yaitu menjadikan seorang menjadi murid Kristus yang sejati.

Melalui segala kemampuan kognitif, skills maupun pemahamannya yang koheren, seorang Pendidik mampu mentransfer semua “materi-materi pengajaran Kristus” ke dalam diri muridnya yang disertai dengan kemampuannya untuk mewujudnyatakan semua “konsepsinya” itu ke dalam tindakan nyata yang bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh murid-muridnya. Jadi seorang Guru adalah sebagai “manifestasi nyata” dari keberadaan Kristus sebagai Sang Guru Sejati. Seorang Guru Kristen adalah sebagai representatif dari Kristus sendiri.

(Bersambung)

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian 3



B. Isi Pendidikan

Habermars dalam “The Purpose of Christian Education” menguraikan suatu model petunjuk dari pendidikan Tuhan Yesus sebagai kerangka dasar isi pendidikan Kristen. Ia menguraikan konsep ini dari Matius 17:24-27,

“First, instruction must be relational. Jesus personalized his teaching in this passage when he calls Peter by his familiar name, Simon. Christian education should also be meaningful (dealing with a relevant topic, like taxes), and dialogical (illustrated by the Master’s intentional conversation, being the “first to speak”). The fourth and fifth guidelines reveal that Christian instruction must be honorable (Christ did not want to cause offense (27a)) as well as practical (Peter’s “assignment” to pay the tax carried specific instruction and was based on his skills and interests (vs. 27b)). Also, Christ’s education was responsible. He instiled in Peter a sense of duty, prompting him to pay the debt for Jesus and himelf. Finally the Master Teacher modeled memorable instruction, for his disciple no doubt recalled the lessons each time taxes were due.”

Dari uraian Habermars di atas, terlihat dengan jelas beberapa elemen dasar yang menjadi isi utama suatu pendidikan Kristen yaitu relational, meaningful, dialogical, honorable, practical, responsible dan memorable. Selanjutnya berkaitan dengan isi atau materi pendidikan itu sendiri, saya setuju dengan pendapat Lois LeBar yang menyatakan sebuah perspektif dimana Pendidikan Kristen harus berpusat pada Firman yang Hidup dari Allah (Kristus) dan Firman Tuhan yang tertulis (Alkitab). Keduanya merupakan Sumber, Inspirasi, atau the Content dari pendidikan Kristen itu sendiri. Allah menyatakan diriNya di dalam Kristus dan mewahyukan Alkitab sebagai Bahan Referensi yang Terlengkap bagi pendidikan Kristen secara lengkap, sistematis dan koheren.

(Bersambung)

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian 2



A. Tujuan Pendidikan

Di dalam bukunya Foundational Issues in Christian Theology Robert W. Pazmiño, memberikan suatu kerangka dasar pemikiran tentang istilah “pendidikan Kristen” yaitu,

1. Pendidikan Kristen adalah berdasarkan pada Alkitab, merupakan proses belajar mengajar yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Christ-Centered). Ini berarti membimbing orang di semua tingkat pertumbuhan, untuk mengenal dan mengalami tujuan dan rencana Allah melalui Kristus, yang meliputi semua aspek kehidupannya. Ini juga mendorong mereka untuk terlibat di dalam pelayanan yang efektif, yang semuanya berfokus pada Kristus Sang Guru Pendidikan Sejati.

2. Pendidikan Kristen adalah Berpusatkan pada Kristus (Christ-Centered), berdasarkan
Alkitab, merupakan proses mengkomunikasikan Firman Allah yang tertulis melalui kuasa dari Roh Kudus dengan tujuan untuk memimpin orang lain kepada Kristus dan membangun imannya kepada Kristus.

3. Pendidikan adalah penciptaan kembali dan pengembangan dari hubungan yang benar
antara Allah dengan manusia, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam semesta.

4. Pendidikan adalah peletakkan dasar keilahian dan proses kerjasama yang manusiawi di mana manusia bertumbuh dan berkembang di dalam hidupnya, bertumbuh di dalam pengetahuan yang menyerupai Allah, iman, pengharapan, dan kasih melalui Kristus.

5. Pendidikan Kristen adalah proses membebaskan, sistematis dan keyakinan ilahi dan usaha manusia untuk membagikan pengetahuan, nilai, sikap, keahlian, sensitivitas dan tingkah laku yang konsisten dengan iman Kristen.

Ini mengacu pada perubahan, pembaharuan, dan reformasi dari pribadi (perorangan), kelompok, dan berbagai tingkatan oleh kuasa Roh Kudus untuk menyatakan kehendak Allah yang diekspresikan dalam Alkitab dan diwujudkan dalam pribadi Yesus Kristus.

Dari penguraian kerangka dasar pemikiran tentang “pendidikan Kristen” ini, maka terlihat jelas bahwa pendidikan Kristen merupakan suatu proses perubahan, pembaharuan, dan reformasi dari nilai-nilai, sikap, keahlian, pengetahuan dan tingkah laku manusia yang berpusatkan pada hubungan antara Allah dengan manusia, dan merupakan suatu proses yang dikerjakan oleh Roh Kudus dan didasarkan pada Alkitab. Semua ini bertujuan untuk membawa manusia kepada suatu hubungan yang benar dengan Allah melalui Yesus Kristus, inilah “Christ-Centered Education.”

Beranjak dari dasar pemikiran pendidikan Kristen ini, maka kita dapat membangun suatu tujuan dasar pendidikan Kristen itu sendiri. Ronald Habermars dan Klaus Isster (1992, 33-57) memberikan suatu usulan bahwa tujuan utama dari pendidikan Kristen adalah pendamaian/reconciliation.

Konsep ini diambil dari 2 Korintus 5:17-6:1 dan Kolose 1:19-23. Tujuan utama ini terdiri dari empat substansi sebagai berikut:

(1) persekutuan dengan Allah (melalui penyembahan dan doa),
(2) persekutuan dengan Tubuh Kristus (melalui dorongan dan nasehat),
(3) pembentukan karakter (melalui pemikiran yang ilahi (Fil 4:8) dan kehidupan yang saleh (Mikha 6:8)), dan
(4) pengutusan (penerimaan suatu karunia rohani dan respon kepada panggilan Tuhan).

Pada tahun 1952, Divisi Pendidikan Kristen dari National Council of Churches membentuk suatu komite yang diketuai oleh Lawrence C. Little. Mereka mendefinisikan suatu tujuan pendidikan yang utama yaitu, “the supreme purpose of Christian education is to enable persons to become aware of the seeking love of God as revealed in Jesus Christ and to respond in faith to this love in ways that will help them grow as children of God, live accordance with the will of God, and sustain a vital relationship to the Christian community.”

Sedangkan Kenneth L. Cober mengatakan, “the goal of educational ministry is that person become obedient disciples of Jesus Christ (Matt. 28:18-20), prepared for works of service and conformed increasingly to the image of Christ (Eph. 4:11-16).” Dari beberapa pendapat ini, dapat ditarik beberapa hal yang mendasar yang menjadi tujuan utama pendidikan Kristen yaitu membawa seseorang kepada suatu hubungan yang pribadi dengan Yesus Kristus (menjadi murid Kristus), menerima kasihNya sehingga akan membawa dampak perubahan karakter yang juga akan membawa dampak bagi lingkungannya. Jadi pendidikan Kristen adalah mengenal Allah dan memperkenalkan Allah (to know Him and to make Him known). Inilah tujuan pendidikan Kristen yang berpusatkan pada Kristus (Christ-Centered Education).

(Bersambung)

MODEL PENDIDIKAN : CHRIST-CENTERED EDUCATION (PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA KRISTUS) Bagian 1



Pendahuluan

Apakah pendidikan itu? Apa makna pendidikan itu dan bagaimanakah peranan pendidikan Kristen itu bagi keluarga, masyarakat dan dunia? Apa tujuan pendidikan Kristen itu? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali dikemukakan di dalam rangka menjawab tantangan, kondisi dan situasi dunia yang semakin rumit, runyam dan mengalami degradasi moral. Pendidikan seringkali dipertanyakan eksistensinya (apalagi pendidikan Kristen),

“Sejauh mana Kristus dapat mengubah pribadi seseorang yang meliputi perubahan karakter, kemampuan kognitif dan afektif serta kehendak seseorang?” Dapatkah seseorang itu mempunyai karakter seperti Kristus di dalam hidupnya yang diperoleh melalui sarana pendidikan Kristen? Makalah ini mencoba menguraikan sebuah dasar pemikiran pendidikan Kristen yang berpusat pada Kristus (Christ-Centered Education) sebagai sebuah jawaban terhadap problematika adanya pluralitas konsep pendidikan yang diharapkan mampu menjadi salah satu pedoman di dalam meletakkan landasan ide pendidikan Kristen yang kokoh.


(Bersambung)

It’s all about Him


Masih teringat jelas di telinga saya pengajaran dari Pdt. Graham Roberts di ruang kelas STT Cipanas tentang Marriage and Family pada tahun 2004 yl, bahwa pernikahan adalah ide Allah, bukan ide manusia. Satu pernyataan beliau yang kemudian saya ingat jelas bahwa, ” pernikahan adalah sebuah proses perjalanan seumur hidup berdua menuju pertumbuhan karakter di dalam Kristus.” Artinya menikah itu juga membutuhkan iman, sebuah keberanian untuk melangkah sekalipun harus dimulai dari nol.

Tidak terasa kuliah tentang pernikahan dan keluarga itu sudah berlalu dan saya tidak lagi sedang belajar tentang pernikahan dan keluarga, karena pada tanggal 2 Juni 2007 yl, saya Andi Oktavian Santoso (Andios), oleh anugerahNya boleh dipersatukan Allah bersama kekasih saya Chialis dan diteguhkan oleh Pdt. Hadi Sugianto Lie, M.Div. di GKT Hosana Bumi Permai Surabaya. Puji Tuhan, melalui sebuah keberanian untuk melangkah dengan iman, saya melihat betapa Tuhan menyatakan anugerahNya secara ajaib. Kebaktian Pemberkatan Pernikahan saya pada akhirnya boleh terlaksana dengan baik.

Tema Pemberkatan Pernikahan kami adalah ”It’s all about Him.” Atau semua adalah tentang Dia, yaitu Kristus, yang adalah Kepala Gereja, Sang Mempelai Pria yang akan menjemput gerejaNya sebagai Sang Mempelai Perempuan. Jika kembali kepada pemahaman ini, maka saya teringat sekali lagi bahwa pernikahan adalah ide Allah, yang merancang bersatunya laki-laki dan perempuan di dalam ikatan kudusNya (Kejadian 2:23), menyelaraskan dua pribadi menjadi satu, memproses dua insan berbeda menjadi satu.

Pernikahan adalah sesuatu yang sangat serius bagi Allah sehingga rasul Paulus di dalam Efesus 5:31-32, menggambarkan bersatunya laki-laki dan perempuan untuk menjelaskan keintiman sejati antara Kristus dan jemaatNya (gerejaNya). Pernikahan adalah puncak keintiman antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan adalah lambang bersatunya Kristus dan jemaatNya di dalam keintiman yang kekal. Tetapi lebih jauh, pernikahan antara laki-laki dan perempuan di bumi, adalah suatu ”foretaste” atau rasa awal tentang keintiman sejati kita dengan Allah di dalam kekekalan.

Jadi pernikahan adalah ide Allah, bukan ide orang tua, bukan ide Wedding Organizer, pernikahan adalah ide Sang Pencipta laki-laki dan perempuan untuk mempersiapkan kita menuju kekekalan bersamaNya. Rick Warren dalam artikelnya berjudul Purpose Driven Marriage mengatakan bahwa, melalui pernikahan, Allah telah menciptakan suatu kesempatan untuk mengembangkan sebuah keintiman yang sejati dan sebuah kesejatian hidup antara laki-laki dan perempuan. Lebih jauh beliau mengatakan bahwa pernikahan adalah laboratorium untuk mengajarkan kasih Allah kepada kita manusia.

Gary Thomas dalam bukunya Sacred Marriage juga mengatakan, bahwa pernikahan bukan dimaksudkan untuk membuat kita bahagia tetapi diciptakan untuk menjadikan kita kudus. Dari beberapa pendapat ini, sekali lagi saya diyakinkan bahwa pernikahan adalah tentang Dia, oleh Dia dan bagi Dia. Pernikahan bukan ide kita, pernikahan adalah tentang Dia, bagi kemuliaanNya.

Ketika saya memasuki pernikahan dengan pemahaman bahwa semuanya adalah tentang Dia, maka saya disadarkan bahwa hanya Dia yang akan mampu memulai dan mengakhiri pernikahan saya, dan tidak ada hal lain yang mampu memisahkan apa yang telah dipersatukan oleh Allah. Karena pernikahan adalah tentang Dia, maka saya belajar bahwa hanya Dia yang layak membentuk saya dan isteri saya sesuai kehendakNya, untuk menjadikan kami serupa dengan pribadiNya Sang Mempelai Pria Sejati, dan GerejaNya sebagai Sang Mempelai Wanita.

Saya bersyukur bahwa untuk mempersiakan keintiman sejati saya dengan Allah, maka Allah telah mengaruniakan pernikahan sebagai sarana saya boleh belajar tentang kasih, penerimaan, pengampunan dan pengorbanan serta kekudusan. Oleh sebab itu melalui forum kesaksian ini, saya secara pribadi ingin menyaksikan kebaikanNya atas kehidupan kami berdua. Saya juga berdoa kiranya, sidang pembaca sekalian khususnya anak-anak muda yang sedang bergumul untuk memasuki pernikahan, kiranya kekudusan Allah akan memimpin kita untuk memasuki sebuah perjalanan iman menuju kekekalan dan keintiman sejati bersama Allah.

Karena pernikahan adalah tentang Dia, bagi kemuliaanNya. Semoga kesaksian ini juga boleh menjadi penyegar ingatan bagi pasangan suami-isteri yang telah menjalani kehidupan pernikahan, untuk tetap menantikan kedatangan Sang Mempelai Pria untuk membawa kita kepada keintiman yang sejati di dalam kekekalan dengan menjaga kekudusan hidup pernikahan kita sampai akhir, sampai Kristus menjemput kita.

A journey of an everlasting marriage begins with a step of faith
(Andios & Chialis)



Dear Chialis, bagiku Pernikahan adalah …

Anugerah yang ajaib
Bahtera rumah tangga Ilahi
Cinta yang tak berkondisi
Dua menjadi satu
Empati
Firman Tuhan sebagai fondasi
Gairah yang murni
Hidup untuk dibagi
Intim di dalam kelemahlembutan
Jujur di dalam segala perkara
Komitmen seumur hidup untuk bersatu
Limpahan berkat yang tiada terkira
Melayani Tuhan dan sesama
Nilai-nilai Ilahi sebagai pedoman
Obsesi untuk saling melengkapi
Percaya dan dapat dipercaya
Qualitas mengasihi dan dikasihi
Rela berkorban
Sinergi
Tulus dan saling mengampuni
Untaian kebersamaan dalam perbedaan
Valentine untuk selamanya
Warna-warni kehidupan yang terlukis oleh waktu
X’presi dari hati ke hati
Ya di atas ya dan tidak di atas tidak
Ziarah seumur hidup berdua, disertai Allah

Maukah engkau berjalan bersamaku, kini dan selamanya?
Dari Andios, kekasihmu

(Surabaya, 2 Juni 2007)