Friday, October 3, 2008

Hidup Bukan Sekedar Seberapa Lama, Tapi Seberapa Makna

Suatu siang di bulan April 2004 di bandara Juanda, aku menjemput seorang Pendeta Senior yang dari raut wajahnya terlihat garis-garis kehidupan yang sarat dengan makna, betapa hidupnya benar-benar “all totally for God”. Ia sudah tidak muda lagi memang, namun semangatnya begitu luar biasa. Siang itu, aku sangat antusias untuk bertemu dengannya karena aku rindu untuk meluangkan waktu selama seminggu lebih bersamanya. Rencananya ia akan berbicara dua sesi dalam kebaktian Jumat Agung dan Paskah gereja kami yang notabene merupakan hasil perintisannya. Aku hanyalah seorang anak muda yang sedang belajar meneruskan tongkat estafet pelayanan yang telah dimulainya. Pendeta Setiawan namanya.
Segera sesudah kami masuk ke dalam mobil ia langsung bertanya, “Ian hari ini ada rencana apa ya?” Akupun menjawab, “Saya siap menemani kemanapun Bapak mau pergi. Selama Bapak disini saya siap mengantarkan.” “OK, kalau begitu kita menuju ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, ya!” “OK,” jawabku pula.
Singkat cerita iapun menceritakan kisahnya ketika berada di pesawat yang membawanya dari Jakarta ke Surabaya. Di sebelahnya, duduk seorang wanita yang semenjak dari tempat penantian keberangkatan, wajahnya terlihat sayu, seolah-olah diliputi suatu pergolakan batin yang sangat mendalam. Pendeta Setiawan sebenarnya sudah merasakan suatu dorongan batin untuk mendekatinya waktu itu, tapi ia mengurungkan niatnya. Dalam pandangannya, ia melihat ada sebuah tindakan kasih yang perlu disampaikan kepadanya. Entah bagaimana, pada akhirnya ia duduk bersebelahan tepat dengan wanita yang dilihatnya tatkala mereka mulai masuk ke dalam pesawat. Dan dengan hati yang rindu untuk membagikan kasihNya, ia mencoba memulai percakapan dan ternyata sungguh tidak disangka bahwa wanita ini memang sedang bergumul karena adik laki-lakinya sedang berada di ICU: menderita kanker paru-paru stadium empat. Wow, betapa suatu pergulatan batin yang tidak mudah. Wanita inipun seolah-olah segera menemukan tempat untuk berkeluh-kesah tatkala Pendeta Setiawan memperkenalkan dirinya sebagai seorang Pendeta. Pendeta Setiawan dengan hati welas asih-nya pun berkata, “Saya akan berusaha menjenguk dan mendoakannya.” “Percayalah Tuhan tahu yang terbaik,” katanya lembut namun pasti seolah-olah bagaikan setetes embun yang lembut bagi jiwa wanita yang sedang gundah gulana itu.
Singkat cerita, kami berdua segera meluncur ke rumah sakit tersebut, tenang namun pasti kami segera memasuki ruangan tempat dimana tergeletak seorang laki-laki berusia 37 tahun, yang dengan nafas tersengal-sengal mencoba untuk terus bertahan hidup. Kulihat isterinya berdiri di sisinya, memegang tangan kekasih hidupnya dengan erat. Ia terlihat berusaha menyeka tangisnya. Lelaki yang memiliki seorang anak laki-laki berusia 5 tahun ini sebut saja A Cong, sudah beberapa bulan mengalami penderitaan yang luar biasa. Keluarganya telah berusaha membawanya ke rumah sakit ternama, dari Jakarta hingga Singapura. Merekapun juga telah berdoa, berharap agar Tuhan menyatakan mujizatNya. Mereka telah lelah berusaha, mereka telah putus asa berharap. Mereka sangat ingin melihat orang yang mereka kasihi disembuhkan dari semua perderitaan fisik ini. Harapan mereka, biar hidup tetap berlanjut, biar sukacita terus diraih. Waktu itu, Pendeta Setiawan dengan segera mencoba untuk berkomunikasi dengan lelaki itu, ia menanyakan, “percaya Yesus ya… jangan takut, Tuhan Yesus mengasihimu…” Dengan pelan, kulihat lelaki itu berusaha menganggukkan kepalanya perlahan…. Kemudian, tanpa berlama-lama Pendeta Setiawan mengajak kami semua untuk berdoa, bertanya kepada Tuhan apa maksudNya dan menyerahkan semua kepadaNya, manusia bisa berharap, tapi Tuhan yang menentukan. Ia berdoa agar semua keluarga, pasrah, berserah penuh pada Tuhan. Akhirnya, kamipun pamit pulang dan sebelum pulang kami bertemu dengan kedua orang tua A Cong. Dari kesaksian mereka, terdengar bahwa mereka melihat A Cong telah mengajarkan satu hal kepada mereka, yaitu makna pengenalan secara pribadi dengan Yesus Kristus. A Cong ternyata adalah seorang murid Kristus yang taat. Selama masa-masa kritisnya berjuang dengan kanker, A Cong tidak pernah terlihat putus asa, berkeluh-kesah apalagi menyalahkan Tuhan. Ia begitu tenang, dan berserah sepenuhnya kepada Sang Kekasih jiwanya. Ia tahu bahwa kehidupannya ada dalam genggaman tanganNya. Kehidupan adalah tentang bagaimana menyerahkan segenap jiwa dan raga untuk memuliakanNya. Kehidupan adalah tentang bagaimana membuat makna ilahi, menyatakan kasihNya kepada sesama, kepada orang-orang terdekat kita bahkan musuh kita sekalipun. A Cong memahami bahwa Kristus haruslah menjadi yang terutama dalam hidupnya. Alhasil melalui kesaksian hidup yang nyata, berjuang melawan kanker stadium empat dengan kepasrahan diri, A Cong telah menuntun secara perlahan kedua orang tuanya untuk lebih mengenal Yesus. Dari kesaksian kedua orang tuanya, kami melihat suatu perkara ajaib yang sedang Tuhan kerjakan. Rencana keselamatan yang akan menjamah keluarga A Cong yang masih belum mengenal Sang Pencipta Ilahi.
Selanjutnya, kami berdua pulang beristirahat dan kami tidak terlalu banyak mengetahui berita selanjutnya. Keesokan harinya, Pendeta Setiawan kembali mengajakku untuk mengunjungi A Cong dan keluarganya. Tetapi kami agak sedikit bingung karena kami tidak menjumpai anggota keluarganya seorangpun. Akhirnya seorang suster memberi tahu bahwa semalam A Cong telah dipanggil Tuhan, Ia telah berpulang ke rumah Bapanya yang sangat mengasihinya. Walau agak sedikit terkejut, kamipun dalam hati memuji Tuhan atas kehendakNya yang sempurna. Ia tahu yang terbaik bagi hidup A Cong dan keluarganya.
Kamipun segera meluncur menuju ke tempat peristirahatan sementara di Adi Jasa. Aku secara pribadi agak merasa takut, kuingat dengan jelas bahwa kemarin sore, kami berdua mendoakan seorang lelaki yang sangat kritis tersebut, dan kulihat seluruh keluarganya terlihat ingin melihatnya sembuh oleh kuasa Tuhan. Mereka begitu menyambut kami dan berpikir bahwa kami adalah utusan Allah yang mungkin bisa menyembuhkan. Dan kini, apa yang kulihat adalah seorang isteri yang tidak kuasa menahan kekecewaan yang sangat, “mengapa ia harus pergi?” Kulihat di sana sini wajah-wajah yang diselimuti duka yang mendalam, “yah A Cong telah pergi mendahului kami” kata sang kakak yang dijumpai Pendeta Setiawan di pesawat waktu itu yang berinisiatif menghampiri kami. “Tadi malam jam 9, A Cong menghembuskan nafasnya yang terakhir,” lanjutnya lirih. Di tengah-tengah kebisuan dan kegalauan batin yang amat menyesakkan, kudengar Pendeta Setiawan mencoba untuk bersimpati, iapun tidak banyak berkata-kata, ia hanya mencoba menepuk pundak sang kakak yang sedikit terisak, “percayalah ini adalah yang terbaik dari Tuhan.” Kemudian tidak berapa lama, aku melihat satu perkara yang ajaib, aku melihat bahwa kedua orang tua A Cong yang dulunya belum mengenal Kristus, justru kulihat begitu tabah. Kamipun menghampiri mereka dan mengucapkan simpati kami, dan sang ibu kemudian berkata, “sekalipun tidak mudah bahwa A Cong, anak kami, dipanggil pulang, kami harus jujur mengakui bahwa melalui ini semua kami justru boleh mengenal siapakah Tuhan yang disembah A Cong selama ini. Kami melihat Tuhan! Kami diperlihatkan suatu keagungan karyaNya sekalipun caraNya begitu sulit kami mengerti. Kami tahu Tuhan memanggil A Cong pulang, supaya kami berdua boleh mengenal Yesus secara pribadi.” Dalam batinku akupun segera memuji kebesaran Tuhan, “o Lord, it’s all about You.” Kami mengamini apa yang diucapkan sang ibu, seorang ibu dari seorang anak lelaki yang baru saja meninggalkannya, di usianya yang masih muda 37 tahun.
Siang itu di Adi Jasa aku belajar sesuatu, bahwa meskipun meninggal di usia muda, A Cong telah berhasil memaknai hidupnya, dengan meninggalkan bekal yang sangat penting bagi kedua orang tuanya yaitu rahasia pengenalan akan Tuhan Yesus yang ajaib, suatu harta yang tidak ternilai. Ya, A Cong telah menyelesaikan perjalanan hidupnya dengan baik. Kulihat Pendeta Setiawan tersenyum kepadaku, ia tahu isi hatiku. Ia seolah-olah berkata, “mari kita lanjutkan perjalanan hidup kita Ian, dengan memberi makna atas hidup ini lebih lagi.” Dalam hati aku segera berkata, “ya Tuhan, aku mau hidupku juga memiliki makna, tidak hanya berpikir berapa lama aku masih bisa hidup, tapi bagaimana aku memaknai hidupku.” Hidup bukan sekedar seberapa lama, tapi seberapa makna!

Surabaya, 5 September 2005

Christopher Andios

1 comment:

arwi said...

siapakah manusia yg dapat memahami jalan Tuhan ?? Tuhan itu terlalu besar bagi manusia sebab Dialah pencipta dunia ini. Kita hanyalah butiran pasir di hamparan lautan,sungguh tiada maknanya. Namun 1 hal yg dapat kita pegang bahwa rencana Tuhan itu indah bagiNya. Puji Tuhan bahwasanya untuk selama2nya kasih setiaNya, amin !